Popular Post

Posted by : Unknown Jumat, 10 Februari 2012

Dalam formalitas syariah, poligami memang sah sebagaimana monogami. Rasulullah SAW pun berpoligami di sepuluh terakhir usianya. Janganlah mudah-mudah mengambil keputusan berpoligami karena syaratnya berat harus adil, dimana adil itu tidaklah mudah. 

Pernikahan Rasulullah semata-mata didasari faktor agama dan bukanlah untuk kepentingan dunia. Pernikahan itu dilangsungkan untuk suatu hikmah dan bukan untuk menuruti hawa nafsu belaka.
Pernikahan itu dilangsungkan untuk suatu hikmah dan bukan untuk menuruti hawa nafsu belaka. Pernikahan itu pula untuk mengokohkan, memperkuat dan menyebarkan dakwah dan bukan untuk bersenang-senang, menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi ataupun hanya sekedar suatu hobi memperbanyak isteri saja. 
Kemudian pernikahan beliau selanjutnya semata-mata adalah untuk kebaikan Islam dan kaum muslimin. 

Sesungguhnya diantara tujuan mulia dari pernikahan beliau adalah untuk memuliakan dan memberi penghargaan bagi seorang wanita yang lanjut usia sehingga tidak lagi menarik hati laki-laki. Sementara wanita itu telah menghibahkan dirinya untuk Nabi. Maka Nabipun menikahi wanita tersebut dan menggolongkannya dalam deratan isteri-isterinya, demi untuk memuliakan wanita itu sebagaimana yang ia harapkan. 

Serupa dengan hal di atas, sesungguhnya pernikahan Nabi kadang adalah untuk memuliakan suatu kaum yang mengharapkan kemuliaan jika menjalin kekerabatan dengan Nabi. Oleh karena itu, Umar bin Khaththab sangat sedih ketika ia mendengar kabar bahwa Rasulullah satu-satunya isteri beliau yang masih gadis adalah sayyidah Aisyah. 

Mengapa beliau tidak memilih semua isteri-isterinya atau minimal mayoritas daripada isterinya, gadis-gadis perawan yang cantik-cantik? Bukankah kita semua mengetahui bahwa hal itu merupakan hal yang sangat mudah bagi beliau jika saja beliau menghendakinya. 

Manakah yang lebih utama bagi seorang laki-laki yang tengah haus terhadap wanita, gadis-gadis perawankah atau justru wanita-wanita yang telah menjanda? Atau manakah yang lebih menarik bagi seorang laki-laki yang dimabuk oleh wanita; gadis-gadis yang muda beliakah atau malah wanita-wanita yang telah memasuki usia senja? 

Bukankah pernikahan beliau dengan wanita-wanita yang menjanda serta telah memasuki usia tua merupakan bukti yang sangat jelas bahwa Nabi adalah manusia yang sangat jauh dari keinginan untuk bersenang-senang dengan memenuhi kebutuhan biologis semata? Bukankah hal itu merupakan bukti bahwa beliau merupakan seorang yang tidak haus terhadap lawan jenisnya, sebagaimana yang digembor-gemborkan oleh musuh-musuh beliau serta musuh-musuh Islam pada umumnya. 

Para ilmuwan klasik berpendapat bahwa Allah mengijinkan untuk menikahi empat wanita. Menurut mereka kebolehan disini ditambah dengan sebuah kondisi yang impossible ditunaikan, seperti keadilan dalam kasih sayang, perasaan, cinta, dan semacamnya. Selama kemampuan berbuat adil di bidang pengadaan nafkah dan akomodasi bisa diperoleh. Alasan yang mereka kemukakan untuk mendukung pendapatnya adalah sabda nabi dalam hubungannya dengan ketidakmampuan berbuat adil dalam kebutuhan batin. Nabi bersabda : “Ya Tuhanku inilah kemampuanku dalam hal memberikan pembagian kepada isteri-isteriku, karena itu janganlah memaksaku untuk berbuat sesuatu di luar kemampuanku” (HR Ahmad Abu Dawud dan Al Nasa’i). 

Bahkan Dawun al-Zahiri membolehkan menikahi lebih dari empat wanita. Alasannya adalah bahwa kata-kata yang ada di ayat 3 surat Al-Nisa’ di bawah tidak menunjukkan adanya larangan menikah wanita lebih dari empat. Mereka berpegangan bahwa kata waw yang terdapat dalam firman tersebut berfungsi sebagai penghubung (kata sambung). Disamping itu, Rasulullah SAW sendiri menikahi wanita muslimah lebih dari empat orang. 


Pandangan para modernist tidak membolehkan menikahi wanita lebih dari seorang, kecuali dalam kondisi tertentu. Alasan mereka adalah bahwa kebolehan menikahi wanita lebih seorang diikuti dengan sebuah kondisi yang tidak mungkin dipenuhi oleh seorang suami yaitu kemampuan berbuat adil diantara isteri. 

Seperti apa yang ada di surat An-Nisa 3 :
 “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Menurut mereka adil dalam surat ini berarti berlaku adil dalam segala hal yang berhubungan dengan kehidupan keluarga baik kemampuan pengadaan akomodasi seperti pakaian, makanan dan semacamnya maupun perasaan dan hati seperti rasa cinta dan semacamnya yang berhubungan dengan kebutuhan batik isteri. 

Poligami merupakan suatu tindakan yang tidak boleh (haram), kecuali dalam hal-hal tertentu saja seorang suami boleh melakukan poligami, seperti karena ketidakmampuan seorang isteri untuk mengandung atau melahirkan, menurut Al Qur’an surat An-Nisa ayat 3 membolehkan poligami tetapi dengan syarat keharusan mampu meladeni isteri dengan adil dalam pemberian nafkah lahir dan giliran waktu tinggalnya. Dan syarat ini menurutnya ada 3 kondisi yaitu : 

· Kebolehan berpoligami disesuaikan dengan kondisi dan tuntutan zaman 

· Syarat harus mampu berbuat adil merupakan syarat yang sangat berat. Karena beratnya persyaratan ini Allah pun menyatakan : “Kalaupun manusia berusaha keras untuk adil, ia tidaklah akan mampu terlebih dalam hal pembagian cinta dan hal-hal yang berkaitan dengan hati (batin). Padahal ada hadits Nabi Muhammad SAW yang menyatakan : “seorang pria yang mempunyai dua isteri tapi berbuat ketimpangan terhadap salah satunya maka di hari kiamat nanti orang tersebut akan datang dengan badan yang rusak”. 

· Seorang suami yang tidak bisa melaksanakan syarat-syarat yang dituntut untuk melakukan poligami haruslah melakukan monogami. Setelah mencatat pentingnya kemampuan bisa berbuat adil, abduh kemudian mengatakan bahwa tujuan dari syari’ah adalah perkawinan yang monogami. Agaknya, abduh berpendapat bahwa asas monogami merupakan salah satu asas perkawinan dalam Islam yang bertujuan untuk landasan dan modal utama guna membina kehidupan rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. 

Karena itu, setelah Abduh mencatat An-Nisa’ 129 yang berbunyi :

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dia mengakui bahwa para sahabat nabi memang melakukan poligami, tapi hal itu dilakukan karena kondisi menghendaki demikian, dimana wanita lebih banyak daripada pria. Karena itu poligami dikatakan hanyalah menjaga wanita. 

Adapun hikmah diijinkan berpoligami dalam keadaan darurat dengan syarat berlaku adil antara lain : 

1. Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan isteri yang mandul. 

2. Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan isteri, meskipun isteri tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagai isteri atau ia menderita cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. 

3. Untuk menyelamatkan suami yang hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya. Data statistik menunjukkan bahwa larangan berpoligami yang dilakukan di beberapa negara barat mengakibatkan merajalelanya prostitusi dan free sex yang berakibat pula anak-anak zina lahir mencapai jumlah besar atau tinggi. Misalnya di Perancis 30%, Austria 50%, dan Belgia 60%. 

4. Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di negara / masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum pria, misalnya akibat peperangan yang cukup lama seperti perang Irak dan Iran. 

Nilai akhlak dan adab juga mengajarkan sekadar sah atau halal tidaklah cukup untuk melangkah. Dengan begitu, kemudharatan akan terhindarkan, kemanfaatan akan teroptimalkan. Termasuk untuk melangkah berpoligami. Kepentingan anak-anak dan kepentingan pasangan yang telah setia menyertai jatuh bangun membina keluarga dari awal yang harus menjadi pertimbangan utama. Rasulullah pun berpoligami setelah anak-anaknya dewasa dan setelah Khadijah yang menjadi belahan jiwanya wafat. 

Karena di Qur’an jelas ada, Allah jelas membolehkan maka kita sebagai umat yang beriman tidak boleh menolak karena bisa mengkufuri ayat atau hanya memilih-milih ayat yang disukai saja. Dalam beragama kita dilarang memilih-milih ajaran-ajaran yang telah ditetapkan sebagaimana firman Allah QS. Al Baqarah ayat 208 :

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”

Sehingga hal ini meurpakan ujian keimanan terhadap ayat-ayat Allah. Yakinlah jika Allah membolehkan pasti ada kebaikan dan hikmah di dalamnya. Kita tidak perlu terlalu cemas dan khawatir karena laki-laki yang beriman tidak akan mudah-mudah melakukan poligami jika tidak ada sebab yang darurat. Untuk itu carilah laki-laki yang beriman. Namun, jika keputusan poligami ternyata harus terjadi maka terimalah secara positif. 


sumber : diambil dari RESUME BUKU
“MENGAPA RASULULLAH BERPOLIGAMI”
Karya : Dr. Ahmad Al Hufy 

Oleh : Nurul Chotimah


















Leave a Reply

Silahkan tulis komentar Anda dibawah ini

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Cari Blog Ini

- Copyright © HeDes - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -